Talasemia adalah kelainan darah bawaan yang bisa dicegah. Kenali gejala, risikonya, dan pentingnya skrining sejak dini untuk mencegah penularan.
Anemia hemolitik merupakan kurangnya kadar haemoglobin akibat kerusakan sel eritrosit (sel darah merah) yang lebih cepat dibandingkan kemampuan sumsum tulang menggantikannya. Talasemia merupakan salah satu penyakit akibat penurunan atau tidak adanya sintesis satu atau lebih rantai globin yang berperan dalam terbentuknya hemoglobin. Penyakit ini diturunkan dari orang tua ke anak dan dapat mempengaruhi kualitas hidup penderitanya jika tidak dikelola dengan baik. Dalam artikel ini, akan dibahas secara mendalam mengenai jenis-jenis talasemia, gejala, serta pendekatan pengobatan dan pencegahannya.
Penyebab Talasemia di Indonesia
Talasemia adalah kelainan darah genetik yang cukup umum di Indonesia, dengan sekitar 5,2% dari populasi dunia menjadi pembawa sifat talasemia. Setiap tahunnya, 330.000 bayi lahir dengan Talasemia Mayor. Di Indonesia, sekitar 3-10% orang membawa sifat Talasemia β, dan 1,5-36% membawa sifat beta-thalassemia (HbE). Pasien Talasemia Mayor yang terdaftar di Indonesia hingga 2020 mencapai lebih dari 10.000 orang, dengan distribusi terbesar di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan DKI Jakarta. Peningkatan jumlah pasien baru setiap tahunnya berkisar antara 50-70 orang, dan mayoritas pasien berada di usia remaja hingga dewasa muda. Langkah-langkah pencegahan dan manajemen yang dilakukan secara global dapat menjadi pembelajaran untuk diterapkan di Indonesia.
Etiologi Talasemia
Talasemia adalah kelainan genetik yang diakibatkan oleh penurunan sintesis rantai alfa atau beta pada haemoglobin. Penurunan sintesis rantai alfa maupun beta ini mengakibatkan tubuh tidak dapat membentuk sel darah merah dengan benar sehingga dapat menyebabkan anemia yang dimulai pada masa anak-anak dan akan berlangsung seumur hidup. Ada dua jenis utama talasemia:
Talasemia Alfa: Disebabkan oleh mutasi atau penghapusan gen yang bertanggung jawab atas produksi rantai alfa hemoglobin. Semakin banyak gen yang rusak, semakin parah gejalanya.
Talasemia Beta: Disebabkan oleh mutasi pada gen yang mengontrol produksi rantai beta hemoglobin. Mutasi ini menyebabkan produksi hemoglobin tidak mencukupi atau tidak berfungsi dengan baik.
Talasemia diturunkan secara autosomal resesif, yang berarti kedua orang tua harus menjadi pembawa sifat agar anak memiliki risiko menderita talasemia mayor. Jika kedua orang tua adalah pembawa sifat, ada kemungkinan 25% anak akan menderita talasemia mayor, 50% anak menjadi pembawa sifat, dan 25% tidak terpengaruh sama sekali. Hal ini menunjukkan pentingnya tes genetik untuk memahami risiko tersebut sebelum memiliki anak.
Talasemia Mayor dan Talasemia Minor
Talasemia terbagi menjadi dua kategori utama berdasarkan tingkat keparahannya:
Talasemia Mayor
Gejala:
Pasien talasemia mayor biasanya menunjukkan gejala anemia berat, seperti kelelahan ekstrem, pucat, deformitas tulang wajah, pertumbuhan terhambat, dan pembesaran limpa yang signifikan.
Perubahan ini terjadi akibat sumsum tulang yang terlalu aktif bekerja untuk menghasilkan sel darah merah, sehingga terjadi penebalan dan pembesaran tulang terutama tulang kepala dan wajah.
Pengobatan:
Membutuhkan transfusi darah rutin, biasanya setiap 2-4 minggu sekali, untuk menjaga kadar hemoglobin tetap normal. Selain itu, terapi kelasi zat besi diperlukan untuk mencegah penumpukan zat besi akibat transfusi darah. Dalam beberapa kasus, transplantasi sumsum tulang dapat menjadi pilihan pengobatan yang lebih permanen.
Dampak Kehidupan:
Talasemia mayor dapat memengaruhi kualitas hidup secara signifikan karena ketergantungan pada pengobatan seumur hidup.
Talasemia Minor
Gejala:
Talasemia minor atau pembawa sifat biasanya tidak menunjukkan gejala signifikan. Beberapa individu mungkin mengalami anemia ringan tanpa gejala yang mencolok.
Pengobatan:
Biasanya tidak memerlukan pengobatan khusus, tetapi penting untuk menjaga asupan zat besi yang cukup melalui makanan dan menghindari konsumsi suplemen zat besi tanpa rekomendasi dokter.
Dampak Kehidupan:
Talasemia minor tidak memengaruhi kualitas hidup secara signifikan, tetapi individu perlu mengetahui status genetiknya untuk mencegah risiko menurunkan penyakit ke generasi berikutnya.
Gejala Talasemia?
Gejala talasemia bervariasi berdasarkan jenis dan tingkat keparahan penyakit. Berikut adalah beberapa gejala yang umum ditemukan:
Kelelahan yang Berlebihan: Karena tubuh kekurangan oksigen akibat jumlah hemoglobin yang rendah.
Kulit Pucat atau Kekuningan (Jaundice): Disebabkan oleh pecahnya sel darah merah yang abnormal.
Pertumbuhan Terhambat: Anak-anak dengan talasemia sering mengalami pertumbuhan yang lambat dibandingkan dengan anak seusianya.
Deformitas Tulang: Khususnya pada wajah dan tulang panjang akibat sumsum tulang yang bekerja keras memproduksi sel darah merah.
Pembesaran Limpa (Splenomegali): Karena limpa bekerja ekstra untuk menghancurkan sel darah merah yang rusak.
Urin Gelap: Disebabkan oleh pemecahan hemoglobin yang berlebihan.
Pemeriksaan Apa yang Dilakukan?
Ketika kamu mencurigai adanya gejala talasemia atau memiliki riwayat keluarga dengan penyakit ini, langkah pertama adalah berkonsultasi dengan dokter. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan jika seseorang mengalami gejala seperti kelelahan berlebihan, kulit pucat, atau pembesaran limpa, atau jika ada anggota keluarga dengan riwayat talasemia. Dokter akan melakukan pemeriksaan berupa:
Anamnesis: Menggali riwayat kesehatan pasien, termasuk riwayat keluarga.
Pemeriksaan Fisik: Mencari tanda-tanda anemia seperti kulit pucat atau pembesaran limpa.
Tes Darah Lengkap (Complete Blood Count): Mengukur kadar hemoglobin, ukuran, dan bentuk sel darah merah.
Pemeriksaan Lanjutan oleh Dokter
Untuk memastikan diagnosis talasemia, dokter mungkin merekomendasikan pemeriksaan lanjutan, seperti:
Elektroforesis Hemoglobin: Untuk mengidentifikasi jenis hemoglobin abnormal yang dimiliki pasien.
Tes Genetik: Untuk mendeteksi mutasi gen penyebab talasemia.
Tes Ferritin atau Kadar Zat Besi: Untuk membedakan anemia karena talasemia dengan anemia defisiensi besi.
Magnetic Resonance Imaging (MRI) atau (Computed Tomography) CT Scan: Untuk mengevaluasi komplikasi, seperti penumpukan zat besi di organ vital.
Pengobatan Talasemia
Talasemia mayor memerlukan pengobatan jangka panjang untuk menjaga kualitas hidup pasien. Berikut adalah pilihan pengobatan yang tersedia:
Transfusi Darah: Dilakukan secara rutin setiap 2-4 minggu untuk menjaga kadar hemoglobin.
Terapi Kelasi Besi: Menggunakan obat-obatan seperti deferasirox atau deferoxamine untuk mencegah penumpukan zat besi akibat transfusi darah berulang.
Transplantasi Sumsum Tulang (Bone Marrow Transplant): Merupakan satu-satunya pengobatan yang dapat menyembuhkan talasemia. Prosedur ini memerlukan donor sumsum tulang yang cocok.
Terapi Genetik: Masih dalam tahap penelitian, terapi ini bertujuan memperbaiki gen yang rusak agar tubuh dapat memproduksi hemoglobin normal.
Komplikasi Talasemia
Tanpa pengelolaan yang tepat, talasemia dapat menyebabkan berbagai komplikasi, seperti:
Kelebihan Zat Besi: Akibat transfusi darah berulang, yang dapat merusak organ seperti hati, jantung, dan pankreas.
Gangguan Pertumbuhan dan Pubertas: Anak-anak dengan talasemia mayor sering mengalami keterlambatan perkembangan.
Osteoporosis: Penurunan kepadatan tulang akibat produksi darah yang berlebihan di sumsum tulang.
Gangguan Jantung: Termasuk gagal jantung atau aritmia akibat penumpukan zat besi di jantung.
Infeksi: Penderita yang telah menjalani splenektomi lebih rentan terhadap infeksi bakteri.
Screening untuk Talasemia
Screening genetik sangat penting untuk mencegah penyebaran talasemia. Pemeriksaan ini melibatkan:
Screening Pra Nikah: Pendekatan skrining/deteksi dini pada calon pengantin untuk mengetahui adanya pembawa sifat talasemia.
Tes Hemoglobinopathy: Untuk mendeteksi kelainan hemoglobin, seperti Hemoglobin Fetus (HbF) dan Hemoglobin A2 (HbA2) biasanya melalui tes darah lengkap yang dianalisis secara khusus.
Tes Genetik: Untuk mengetahui apakah seseorang membawa gen talasemia. Prosedur ini melibatkan pengambilan sampel darah atau air liur untuk menganalisis DNA dan mencari mutasi genetik yang terkait dengan talasemia. Tes ini biasanya dapat dilakukan di laboratorium khusus genetik.
Biaya screening genetik bervariasi tergantung pada jenis tes dan fasilitas kesehatan yang menyediakan layanan ini. Di beberapa rumah sakit besar atau laboratorium swasta, biayanya berkisar antara beberapa ratus ribu hingga jutaan rupiah. Namun, beberapa program pemerintah dan lembaga kesehatan tertentu menawarkan layanan ini secara gratis atau dengan subsidi, terutama dalam konteks program pranikah atau prenatal.
Pencegahan Talasemia
Pencegahan talasemia dapat dilakukan dengan beberapa langkah berikut:
Edukasi Genetik: Memberikan informasi kepada masyarakat tentang risiko talasemia dan pentingnya screening genetik.
Konseling Pranikah: Untuk memastikan pasangan tidak memiliki risiko tinggi melahirkan anak dengan talasemia mayor.
Diagnosis Prenatal: Melalui prosedur seperti amniosentesis atau chorionic villus sampling (CVS), dokter dapat mendeteksi talasemia pada janin sejak dini.
Program Nasional: Mendorong pemerintah untuk memperluas program screening dan edukasi tentang talasemia.
Kesimpulan
Talasemia adalah penyakit genetik yang dapat memengaruhi kualitas hidup penderitanya secara signifikan. Meski belum ada obat yang sepenuhnya menyembuhkan, pengobatan dan manajemen yang tepat dapat membantu pasien menjalani hidup lebih baik. Pencegahan melalui edukasi, screening genetik, dan konseling pranikah sangat penting untuk mengurangi angka kejadian talasemia di masa depan. Dengan upaya bersama, kita dapat menciptakan generasi yang lebih sehat dan bebas dari beban penyakit ini.
Sumber:
Cappellini, M. D., Cohen, A., Porter, J., Taher, A., & Viprakasit, V. (2019). Guidelines for the management of transfusion-dependent thalassaemia (TDT). Thalassaemia International Federation. Retrieved from https://www.thalassaemia.org.cy/
De Sanctis, V., Soliman, A. T., Canatan, D., Yassin, M., Kilinc, Y., & Daar, S. (2021). Screening and counselling for thalassaemia: A review for clinicians. Acta Biomedica, 92(1), e2021018. https://doi.org/10.23750/abm.v92i1.10799
Paloma, I. D. A. N. C. (2023). Talasemia: sebuah Tinjauan Pustaka. Biocity Journal of Pharmacy Bioscience and Clinical Community, 1(2), 89-100.
Piel, F. B., Weatherall, D. J., & Hay, S. I. (2022). Global epidemiology and prevalence of hemoglobin disorders and their association with malaria. The Lancet, 400(10351), 1930–1940. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(22)01505-3
Rujito, L. (2019). Talasemia: genetik dasar dan pengelolaan terkini. Universitas Jenderal Soedirman, 10.
Taher, A. T., Musallam, K. M., & Cappellini, M. D. (2018). Beta-thalassemias. The New England Journal of Medicine, 378(8), 726–736. https://doi.org/10.1056/NEJMra1705517
Weatherall, D. J., & Clegg, J. B. (2020). The thalassaemia syndromes (4th ed.). Wiley-Blackwell. https://doi.org/10.1002/9780470696705
Xu, J., Peng, C., & Sankaran, V. G. (2020). Advances in the understanding of haemoglobin switching for the treatment of haemoglobinopathies. British Journal of Haematology, 188(6), 798–807. https://doi.org/10.1111/bjh.16248
World Health Organization (WHO). (2021). Management of haemoglobin disorders. World Health Organization. Retrieved from https://www.who.int/